Ekonomi Hijau Di Jantung Borneo (HoB)

Mengintegrasikan Konservasi, Pengembangan Ekonomi dan Kesejahteraan Komunitas di Seluruh Heart of Borneo

Koridor Jantung Borneo (HoB) terdiri atas 22-juta hektar lanskap hutan  yang menjadi tempat tinggal berbagai kelompok spesies satwa liar seperti Orangutan, Macan Tutul, Gajah Pygmy dan Badak Sumatera. Koridor ini dibuat dengan tujuan menciptakah jalur ekologis di antara kawasan-kawasan lindung di Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia. Koridor HoB merupakan salah satu kawasan konservasi prioritas WWF sedunia dan sebuah kawasan pengembangan sosial ekonomi bagi penduduk asli.

WWF team with local community, Song, Sarawak. L. Haqeem

Ekonomi Hijau akan dikembangkan dalam proyek HoB di lokasi seluas dua juta hektar, yang terbentang dari Kalimantan bagian Barat Laut sampai Serawak bagian tengah. Proyek ini didanai dibawah naungan Inisiatif Iklim Internasional, oleh Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam, Keselamatan Bangunan dan Nuklir Jerman.

Proyek ini bertujuan untuk mengarahkan pengembangan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan ekonomi hijau, yang mendorong pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan di dalam Koridor HoB.

Empat Produk Utama Proyek:

  1. Rencana penggunaan lahan dan pengelolaan ekonomi hijau yang telah diterima oleh otoritas pemerintah;
  2. Sektor kelapa sawit dan kayu di wilayah ini memiliki peningkatan kesadaran dan kapasitas untuk menerapkan praktik bisnis ramah lingkungan;
  3. Masyarakat lokal diberi wewenang untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan sesuai dengan konsep ekonomi hijau;
  4. Pengembangan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan berlandaskan ekonomi hijau dapat direplikasi di seluruh HoB, terutama di kawasan konservasi yang sangat penting bagi masyarakat internasional.
River transport, Batang Ai, Sarawak. M Sedgwick

Manfaat Proyek

Proyek ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat diintegrasikan dengan konservasi, dan pada akhirnya menghasilkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan di dalam koridor HoB.

Proyek ini juga diharapkan dapat berkontribusi pada kelima pilar Rencana Aksi HoB, seperti yang disahkan oleh pemerintah Malaysia dan Indonesia. Pilar pengelolaan HoB meliputi: pengelolaan lintas batas; pengelolaan kawasan lindung; pengelolaan sumber daya berkelanjutan; ekowisata; dan peningkatan kapasitas.

Tahap Pertama Proyek

Jambu, enjoyed by Orang Utan, Batang Ai, Sarawak. M Sedgwick

Tahap pertama dari proyek ini melibatkan identifikasi modal alami dan modal sosial di wilayah proyek, dan melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan berdasarkan Pendekatan Lanskap.

Tahap pertama proyek yang akan diselesaikan di Sarawak mencakup:

  • penilaian modal alam, termasuk survei keanekaragaman hayati rinci, tentang wilayah Balleh dan Song Katibas
  • Penilaian dampak sosial di wilayah Song Katibas
  • Pelibatan pemangku kepentingan yang dilangsungkan untuk membangun dukungan bagi proses perencanaan dengan Pendekatan Lanskap

Tahap pertama proyek yang diselesaikan di Kalimantan Barat meliputi:

  • penilaian tingkat tinggi terhadap modal alam dan modal sosial di wilayah Kapuas Hulu
  • pengembangan konseptual rencana penggunaan lahan Agropolitan untuk wilayah Kapuas Hulu. Konsep Agropolitan melibatkan perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati
  • Pelibatan pemangku kepentingan yang dilangsungkan untuk membangun dukungan bagi proses penyusunan rencana penggunaan lahan untuk kawasan Agropolitan.

Tahap Kedua Proyek

Tahap kedua dari proyek ini akan melibatkan analisis dan konsultasi spasial dengan pemangku kepentingan   untuk mengembangkan rencana penggunaan  dan pengelolaan lahan berdasarkan ekonomi hijau.

Sepanjang proyek ini, WWF akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mempromosikan produksi kelapa sawit dan kayu berkelanjutan, dan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam secara lestari.

Apa Arti Kawasan Agropolitan?

Kawasan Agropolitan adalah konsep perencanaan tata ruang yang matang, yang kembali muncul sebagai solusi perencanaan lahan potensial pada akhir tahun 1970an. Wilayah Agropolitan adalah kawasan yang dirancang untuk menggabungkan desa, produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam. Daerah ini dirancang untuk memungkinkan pertumbuhan penduduk, merangsang ekonomi perdesaan dan mendesentralisasi daerah perkotaan.

Wilayah Agropolitan adalah model perencanaan penggunaan lahan yang populer di Indonesia, dan pemerintah Indonesia secara formal mengembangkan zona strategis Agropolitan, yang dirancang untuk menghasilkan komoditas tertentu dan merupakan wadah untuk populasi yang sedang tumbuh.

Proses perencanaan penggunaan lahan yang terkait dengan pengembangan Kawasan Agropolitan baru menawarkan kesempatan untuk melindungi habitat strategis, dan merencanakan pembangunan ekonomi berkelanjutan.